Mengapa Harus ke Pulau Kinde?
Saya tidak
akan menjawab pertanyaan dari judul tulisan ini. Tetapi saya mencoba untuk
berbagi kisah tentang perjalanan saya bersama teman-teman menuju tempat ini,
Pulau Kinde. Perjalanan kami mulai dari sini:
Sejenak
saya berhenti pada satu titik tenang, berdiam diri dalam pencarian, di mana
letak Pulau Kinde. Menurut Wikipedia, Pulau Kinde terletak di Wolowae,
Kabupaten Nagekeo, Flores-NTT. Pantai ini seluas 11,36 ha dan memiliki pasir
yang berwarna putih. Sejenak saya terkesima akan laporan dari Wikipedia ini. Bukan
karena luasnya tetapi karena hamparan pasir putihnya. Untuk luas, tidak mungkin
saya harus lelah-lelah mengukurnya lagi. Terpenting, ada dan keberadaannya
sudah terlacak.
Menjelang akhir Agustus, di tanggal 28-29, saya dan teman-teman memutuskan untuk bertamsya ke tempat ini. Tempat yang di mana begitu asing bagi saya yang adalah orang gunung. Dulu, melihat laut itu seperti melihat sebuah hamparan savana yang begitu luas. Dan, apakah saya bisa berenang di lautan lepas?
Jam keberangkatan ditentukan, titik kumpul di rumah Om Zheno, putra terbaik dari bapak Bertin Seke di Bidiau-Boawae, pemilik Sablon Pengangguran1995. Jumlah pasti, kami ada 14 orang. Semua sudah siap dengan matang, tenda dan logistik ala kadarnya pun sudah disiapkan. Kami semua mengendarai speda motor. Kurang lebih 4 jam lama perjalanan kami dari Boawae sampai di Guadata-Wolowae. Kami menikmati perjalan dan tidak buru-buru (Guadata, tempat ini akan diceritakan pada kesempatan yang lain). Sebelum tiba di Guadata, kami sudah memberi kabar kepada Om Denis, sang pemilik perahu yang akan kami sewa ke Pulau Kinde. Beliau sudah siap menanti kami. Ikan segar tangkapannya pun sudah disiapkan. Tentu kami harus membelinya.
Orang
gunung macam saya dengan yang lain ini, sedikit tercengang dengan hamparan
pasir putih di Guadata dan saat itu senja menjadi panaroma indah. Ada sebuah
perahu yang sedang berlabuh. Resna dan An juga Teti langsung dengan sigapnya
mengabadikan momen langka itu. Iya langka untuk kami. Tak menunggu lama, om
Denis memberi aba-aba perjalanan kami menuju Pulau Kinde pun dimulai. Semua kami
lebih tercengang ketika melihat matahari senja seperti sedang tertidur tepat di
atas permukaan laut, begitu memesona. Tak ada yang dilewatkan. Semuanya ramai-ramai
mengabadikan momen tersebut. Untuk saya sendiri, sudah sekian kali berlayar
menggunakan perahu meskipun belum sekali pun berlayar jauh menggunakan kapal. Perjalanan
menuju Pulau Kinde memakan waktu kurang lebih 45 menit.
Di atas
perahu, saya menyadari bahwa begitu indahnya alam ini jika dirawat ekosistemnya
secara tepat guna. Tapi sayang, pada bebukitan, hutan-hutan dibakar habis. Kadang
dan entah, orang selalu berpegang teguh pada, rumput, jika dibakar, dengan segera akan memunculkan tunas baru. Apakah
ini dianjurkan ketika melihat dan mengalami keadaan dan iklim kita yang sudah
tak menentu seperti saat ini? Tinggalkan saja pertanyaan saya ini. Selain itu,
teman saya, namanya Fendi. Dia punya ketakutan di dalam isi kepalanya. Pay e, saya takut ko, pas kita tidur malam
nanti, tiba-tiba ini pulau tenggelam. Hahaha. Tiba-tiba semua terbahak-bahak.
Om Denis
memberikan aba-aba, sedikit lagi perahu akan berlabuh. Tetap tenang dan jangan
buru-buru. Tak begitu lama, jangkar pun dilepas. Kami tiba sudah gelap. Hanya ada
langit gelap malam itu di tanggal 28, tak ada cahaya bintang apalagi bulan. Kata
Om Zheno, bulanku tak ada. Dia di mana? Ahahah. Bulanmu padam, om. Jawab saya dengan penuh kelakar. Dengan
ekspresi gembira, kami senang. Bisa menginjakkan kaki di Pulau Kinde. Saya sendiri
belum melihat hamparan pasir putih, maklum gelap.
TONTON KAMI DI SINI: Nekat Trip || Pulau Kinde: Surga Kecil Yang Jatuh di Nagekeo
Semua
barang-barang diturunkan dari perahu. Sebagian dari kami ada yang memasang
tenda, mencari kayu api dan duduk bercerita tentang perjalanan yang baru saja
dialami. Air laut surut. Om Denis dan temannya mencari dheku, saya juga belum tahu apa nama hewan laut ini dalam bahasa
Indonesia. Sambil bercerita, kami menikmati kopi dan menanti masakan untuk makan
malam yang sedang diolah. Satu per satu lagu dinyanyikan. Kopi terus menemukan
dingin. Om Denis dan temannya pulang membawakan hasil tangkapan. Kami makan
bersama. Dan dheku sangat enak. Dia pu rasa ni geru-geru le, kata om
Delon. Yang pasti kami semua tertawa.
Malam
semakin larut. Kami tak sabar menunggu pagi. Teman-teman perempuan istirahat
malam. Sebagian kami masih asyik bernyanyi lagu santai, lagu pantai. Om Denis
dan temannya pun istirahat di perahunya.
Pagi tiba,
tepat di tanggal 29 Agustus. Semburat merah jingga dari ufuk timur menggoda
mata. Siapa sangka, anugerah Tuhan begitu indah. Sekali lagi, kami tak
melewatkan momen indah ini. Kami begitu menikmati suasana pagi dengan sangat
damai. Sambil menikmati secangkir kopi pagi dengan sisa kantuk yang masih
bergelangtung pada mata, kami tak mau sia-siakan kesempatan ini. Dan saya jamin, jika teman-teman ke pulau
Kinde ini, mentari pagi itu sangat indah. Dia punya sunrise tu macam bagaimana
begitu. Pokonya sangat indah. Di jam 7 kami melakukan pendakian kecil menuju
puncak pulau Kinde. Ya, lumayan menguras tenaga untuk mencapai puncak. Seperti memperjuangkanmu, aku harus menguras tenaga dan pikiran, hahahah.
Saya duduk
di atas sebuah batu. Rasanya ingin berteriak pada saat itu. Berusaha memecahkan
angin seperti buritan perahu memecahkan laut. Sambil merenung, saya berucap, berjalanlah sejauh mungkin sampai kau menemukan pulang yang tepat. Ahh,
saya menyeduh kopi dan begitu nikmat. Teman-teman yang lain pun dengan gayanya
masing-masing mengabadikan setiap momen dan tak ingin ada yang terlewatkan.
BACA JUGA: Ini Bukan Kita-kiat Menulis yang Baik
Kami kembali
ke bibir pantai. Ada teman-teman yang mandi dan menyiapkan makan pagi sebelum
kembali pulang. Lautnya begitu bersih tapi sayang, ada banyak sampah plastik di
tempat ini. Maklum kami mengunjungi tempat ini setelah beberapa minggu
merayakan ulang tahun kemerdekaan negeri ini.
Kami mengumpulkan sampah-sampah itu.
Semuanya
sudah siap dan kami pun pulang bawakan serta sejumlah kenangan. Dan, mengapa
harus pulau Kinde? Alami sendiri sensasinya. Saya yakin, Anda tidak akan pernah
menyesal. Besar kemungkinan, Anda akan memilih untuk kembali ke tempat ini pada
suatu hari kelak. Terima kasih kesempatan.
Nikmatilah hidupmu selagi masih diberikan
kesempatan. Jagalah alammu biar kelak anak cucumu juga bisa menikmatinya. Nagekeo
Gaga Ngeri.
*Fian N, tukang masak di Pondok Baca Mataleza. Pemilik
IG @kedaikata25 dan youtube Catatan Alfianus.
Istimewaaa
ReplyDeleteTetap sja sa ti bisa baca Sampe abis
kebiasaan, harus sampai tuntas. makanya selalu berakhir di tengah jalan.
DeleteMungkimkah aku juga akan berada disana??😇😇😇
ReplyDeleteSemua mungkin akan digenapi jika waktunya tiba
DeleteTerbaik boskuh🥺
ReplyDeleteSiap. Terima kasih, boss
DeleteSukses sll n terus berkarys om Fian Mataleza n kawan2
ReplyDeleteTerima kasih, Bapak
DeleteJadi Pengen Kesana, Kok Sebagus Ini Tempatnya?
ReplyDelete